SEPERTI warna aslinya yang hitam, kopi menyimpan sejarah penuh kegetiran. Mengisahkan amarah, perlawanan, imajinasi dan kasak kusuk politik. Kopi tidaklah berarti kesenangan individu dan pribadi solitare. Sebaliknya, dimensi sosial politik menjadi muatan dalam secangkir kopi hitam.
Sejak mula kopi diketemukan oleh Kaldi, seorang pengembala kambing di Ethopia, sudah memunculkan reaksi dari kaum agamawan. Efek energi biji kopi yang dimakan tak sengaja oleh kambing milik Kaldi memancarkan kegirangan. Sontak kaum agamawan mencurigai buah ini, sebagai “pekerjaan setan”. ”. Barulah setelah tahu buah itu bisa membantu mereka begadang untuk melakukan ibadah, buah yang di kemudian hari dikenal sebagai kopi ini legal dikonsumsi.
Jauh sebelum MUI yang pernah membuat fatwa bahwa kopi luwak adalah najis dan haram. Kopi sudah menjadi bahan perdebatan oleh kaum agamawan di daratan Eropa. Sekitar tahun 1600 , sekelompok pemuka gereja mendatangi Paus Clement VII untuk memintanya memfatwa haram kopi.
Ketika kopi menjelma menjadi media interaksi sosial di café, kedai dan warung-warung, resistensi atas kopi (dan kedainya) semakin membuncah. Seperti protes kaum perempuan London (1674) yang membuat petisi berisi terbuangnya waktu para lelaki di kedai kopi. Serta tak memungkinkannya perempuan mengunjungi kedai kopi sebagaimana di Prancis. Hanya urusan kopi, membuat Raja Inggris Charles II mengeluarkan pernyataan tentang pelarangan kedai kopidengan alasan membuat orang mengabaikan tanggungjawab sosial serta mengganggu stabilitas kerajaan.Suara-suara protes pun bermunculan di London. Klimaksnya, dua hari sebelum aturan itu berlaku, raja mengundurkan diri. Sebelumnya King George II telah memusuhi kopi lantaran lantaran orang-orang yang berkumpul di kedai-kedaikopi kerap mengolok-olok dirinya.
Kopi mampu membuat gerah pemegang tapuk pemerintahan. Pun demikian di Prancis dan Jerman. Dikhawatirkan popularitas kopi dapat melenyapkan tradisi wine (prancis) danbir (Jerman). Hingga Frederick the Great(1777) mengeluarkan manifestoyang mendukung minuman tradisional Jerman, bir: “Menjijikkan melihat meningkatnya kuantitas kopi yang dikonsumsi rakyatku, dan implikasinya, jumlah uang yang keluar dari negara kita. Rakyatku harus minum bir. Sejak nenek moyang, kemuliaan kita dibesarkan oleh bir.” Namun, di Prancis, alasan kopi dapat menandingi popularitas wine hanyalah alasan semu. Dibalik ini semua, ada kekhawatiran penguasa adanya kasak-kusuk politik. Sebagaimana Revolusi Prancis yang dirancang dan dibincangkan di kedai-kedai kopi.
Ketika kopi telah menemukan dimensi sosialnya, saat bersamaan kopi terlibat dalam banyak perubahan-perubahan sosial politik di pelbagai negara. Kopi mampu mempertemukan dan menjadi alasan pembenar berkumpulnya segenap warga di ruang publik tanpa melibatkan alkohol. Kegiatan ini pun berkembang menjadi rutinitas sosial yang bersifat politis. Tak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
Bangsa Arab pengemar kopi yang disajikan dengan cara Turki. Berbusa dan disajikan dalam cagkir kecil), terkecuali bangsa Libanon. Menjelang Pemilihan Presiden Mesir, Abdel Fatttah al-Sisi, kerap “nongkrong” di Al Bustan Café. Membicangkan situasi politik Mesir. Kopi sepertinya sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan bangsa Arab. Terutama menyeruput secangkir kopi Arabica.
Meskipun kopi diketemukan pertama di benua Afrika (Ethopia) namun soal budidaya dan perdagangan dimonopoli oleh Bangsa Yaman pada abad ke 15. Hingga pasar kemudian menyebutnya Arabika atau Mocha Yaman. Meskipun jenis Robusta (Kongo) , Liberica (Liberia) dan Excelsa (Afrika Barat) sudah turutpula dikembangkan. Para saudagar muslim Yaman yang memperkenalkannya ke penjuru dunia. Masuk ke Eropa melalui para pedagang Venezia, Italia, yang membawa pulang biji kopi dari daerah Levant (sekitar Israel hingga Syria).
Dalam persaingan pasar saat itu, Mocha Yaman hanya bisa ditandingi oleh Java Koffie. Konon, kopi yang saat ini tumbuh berkembang di Brasil dan daratan Amerika latin, bibitnya berasal dari Java Koffie. Berawal Gabriel de Clieu memperkenalkan Java Koffie ke Raja Perancis, Louis XIV. Raja memerintahkan untuk menanamnya di daerah Martinique yang terletak di sebelah timur Karibia. Biji kopi berasal dari Martinique inilah yang kemudian menyebar ke seantero Amerika Latin, tak terkecuali Brasil
Kopi di Nusantara, satu sisi telah menambah pundi keuntungan berlipat ganda bagi VOC Belanda, namun disisi lain menghadirkan penderitaan sistem tanam paksa. VOC Belanda memonopoli industri kopi dunia. Puncaknya pada 1700-an, kopi produksi Jawa bersaing dengan kopi Mocha Yaman. Berawal dari Henricus Zwaardecroonyang pertama kali membawa bibit biji kopi Arabica dari Malabar untuk ditanam di tanah Jawa dan Luar Jawa. Meskipun pada perjalannya, hama tanaman menghancurkan perkebunan kopi di Jawa. Sisa-sisa kopi Arabica peninggalan kolonial Belanda masih bisa ditemui di dataran tinggi Ijen, Jawa Timur, tanah tinggi Toraja, Sulawesi Selatan, Mandailing dan Sidikalang, Sumatera Utara dan dataran tinggi Gayo di Aceh.
Saat kopi telah menemukan dimensi sosialnya, orang tak lagi peduli Arabica atau Robusta. Asalkan tetap tersaji dalam pakem kopi: Panas dan diseruput perlahan. Kopi telah memberi makna baru dalam interaksi sosial, sebagaimana wine yang dilabelkan pada kesan romantic. Dari spektrum gaya hidup yang ekslusif seperti starbucks hingga perbincangkan seru di kedai kopi pinggir jalan. Warung kopi memberi kesempatan kepada anggota sosial untuk berkumpul, berbicara, membaca, menghibur satu sama lain atau sekedar membuang waktu. Bahkan minuman kopi telah menjadi minuman sosial bagi bangsa Brazil. Selain dijajakan di Padaria dan Confeitaria, di hampir semua rumah, menjamu tamu dengan secangkir kopi panas. Dengan ragam racikan dan aroma: Ponto, Pilao, Pele, Alvorada, Damasco, Caboclo, atauMelitta.
Budaya ngopi bagi bangsa kita bukanlah sekedar merasakan sensasi rasa pahit manis atas racikan kopi.Tetapi bagaimana muatan yang menyertai aktifitas itulah yang didambakan. Tak peduli pemulung hingga pejabat teras, tengelam dalam suasana budaya ngopi. Kedai, warung, café telah menjadi tempat public untuk membicangkan apa saja. Dari urusan Pilpres sampai baju “tenda pramuka” Syahrini. Tempat ini menjadi sumber informasi dan inspirasi. Secangkir kopimenjadi semacam e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan aktifitas orang di warung kopi itu.
Ibarat akun “jejaring sosial” twitter, warung kopi membolehkan siapapun mem-follow (bergabung) orang yang menjadi idola dan narasumbernya. Siapapun, apalagi jika sudah kenal, boleh nimbrung mendengar dan mengomentari pembicaraan si narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi. Siapapun tidak dilarang untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau mem-follownya.Berbagai rumor, fakta dan data bergulir dari sana, bagai bola salju, menggelinding menjadi konsumsi publik. Di tempat ini pula rumor, fakta dan data itu, pada akhirnya kembali dalam bentuk feedback disertai komentar miring. Feedback berharga itu sangat memungkinkan diserap menjadi bahan dasar untuk menyusun sebuah kebijakan publik.
Sebagaimana tradisi ngopi bagi orang bugis Makasar. Menjadikan warung kopi dan kopi sebagai maskot politik.Semua gejolak politik yang terjadi di Makassar hampir semua berawal di warung kopisambil menyedu secangkirkopi. Kepopuleran warkop semakin menjadi-jadi ketika Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin mampu memenangkan pemilukada yang awalnya dari warung kopi.
Maka tak mengherankan jika para politisi berujar, “saya juga penikmat kopi”
Penulis : Hendra Budiman
Sumber : kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar