Ada sejumlah faktor yang membuat orang loyal terhadap kesatuan, kelompok, organisasi atau perusahaannya. Faktornya tidak hanya nilai materi, terbukti banyak orang yang bertahan meski ditawari gaji yang lebih tinggi di tempat lain, jika dalam kelompoknya itu merasa dapat lebih memperjuangkan tujuan-tujuan yang lebih besar, tanpa harus mengubur impian pribadi.
Sebaliknya, jika organisasi atau perusahaan sudah dianggap tidak lagi akomodatif terhadap tujuan tersebut, maka kemungkinan untuk bertahan amat kecil dan hengkangnya orang-orang yang kecewa tersebut tinggal menunggu waktu saja.
Solidaritas tumbuh dari kebersamaan. Kebersamaan dijalin tidak hanya saat berada dalam lingkungan pekerjaan atau organisasi, tetapi banyak hal dan kesempatan lain yang dapat memperkuat solidaritas. Mulai dari yang paling sederhana dan tidak mesti yang berkaitan dengan pekerjaan, namun bisa dari hal-hal pribadi dan keluarga. Yaitu dengan memahami persoalan apa saja yang dihadapi orang lain dan kemudian menawarkan bantuan, langsung membantu atau mencarikan solusi tanpa harus diminta.
Urusan pribadi misalnya rekan kita si “A” sedang mempersiapkan pernikahan. Dari satu hal ini saja terbuka kesempatan lebar untuk membantunya mulai dari mengurus undangan, tempat resepsi, baju pengantin, hingga persoalan mahar. Proses menjelang pernikahan biasanya amat menguras energi dan pikiran, apalagi waktunya yang semakin dekat, sedangkan persiapan belum sempurna. Bisa jadi karena biaya yang masih kurang, konflik keluarga atau entah apa lagi. Dari kejadian yang sudah-sudah, ada saja sahabat dekat yang terlewatkan dan tidak diundang. Bukan kesengajaan, tapi karena berbagai persoalan yang karenanya harus dibantu oleh sahabat-sahabat lain untuk mengurusnya.
Selain itu, jangan sepelekan pemberian penghargaan meskipun terkesan remeh dan jangan sungkan-sungkan berterimakasih kepada sesama anggota, bawahan serta semua yang terlibat. Jangan pelit pujian. Perlakuan yang ‘meng-orang-kan’ tersebutlah yang kerap dapat membuat musuh berbalik menjadi kawan, kompetitor berubah jadi mitra, serta mengubah kesinisan orang menjadi simpati. Apalagi orang-orang yang telah menjadi bagian dari tim dan kesatuan.
Mempelajari Hal-hal Baru
Manusia secara umum adalah makhluk yang terus-menerus belajar. Setua apa pun pasti tertarik pada hal-hal baru, ingin mencoba berbagai hal yang tidak biasa, tergoda menguasai berbagai kemampuan baru. Selain bermanfaat bagi organisasi atau perusahaan, pola semacam itu pun menguntungkan karyawan atau anggota organisasi secara pribadi, sebab kapasitas diri mereka bertambah. Kemampuan mereka pun tidak itu-itu saja, tapi terus berkembang. Dengan dasar yang demikian itulah setiap pemimpin perlu memberi tugas atau pekerjaan yang menantang bagi karyawan, bawahan atau anggota organisasi – perusahaan yang dipimpinnya. Pekerjaan yang menantang tersebut sekaligus menjadi ajang pembelajaran hal-hal baru agar iklim kerja lebih bergairah dan tidak monoton.
Kegairahan semacam itu perlu dijaga dan terus ditumbuhkan agar produktivitas tidak merosot. Karena kehilangan kegairahan bisa berarti pula sebagai kehilangan orientasi. Meski tujuan yang dirumuskan sejak semula untuk dicapai begitu muluk, tapi jika kegairahan bekerja telah hilang, mustahil semua dapat tercapai. Semua aktivitas bisa tanpa makna dan tidak berarti apa-apa, tidak berdampak pada kemajuan, tidak menambah keuntungan, tidak menghasilkan karya dan prestasi. Itu artinya sia-sia sajalah waktu yang telah dilewatkan, padahal waktu amat berharganya. Demikian juga dengan cost atau biaya atas semua yang dikeluarkan seperti biaya perjalanan, listrik, sewa rumah, makan-minum, serta biaya-biaya lain yang semestinya tidak hilang begitu saja, tetapi harus mendatangkan hasil.
Tetapi dalam mempelajari dan beradaptasi dengan hal baru itu sangat mungkin terjadi kesalahan, entah kecil atau besar. Pemimpin harus memaklumi dan memaafkan kekeliruan itu dan menumbuhkan sikap percaya diri bawahannya, memastikan tidak terjadi apa-apa, mereka tidak akan dihukum kecuali karena kesalahan yang disengaja. Kesalahan-kesalahan itu akan menjadai guru yang mengajarkan bagaimana semestinya, bagaimana benarnya dan apa saja yang tidak benar dan tidak perlu diulang.
Pelibatan Termasuk dalam Pengambilan Keputusan
Sebagaimana umum pahami, pengambilan keputusan merupakan tugas pimpinan. Sedangkan anggota yang lain atau bawahan menjalankan keputusan yang telah dibuat itu. Akan tetapi secara psikologis perlu diingat kembali bahwa ‘mengambil hati’ orang meskipun bawahan tidaklah mudah. Pemimpin yang tidak berhasil mengambil hati orang yang dipimpinnya bisa saja dipatuhi atau ditakuti, tetapi tidak mempunyai wibawa. Ketakutan bawahan hanya bersifat karena pimpinan itu bisa memutuskan perkara yang menyangkut ‘nasib’ atau posisi dan jabatannya dalam suatu lingkaran pekerjaan organisasi-perusahaan.
Meski pengambilan keputusan adalah kewenangan pimpinan, ‘nasib’ suatu keputusan tersebut apakah dapat dijalankan dengan baik atau tidak, bisa mencapai tujuan ataukah gagal, bergantung dari orang-orang yang akan terlibat langsung dalam usaha itu, yaitu seluruh anggota, karyawan atau pekerja. Bisa saja keputusan-keputusan itu bersesuaian atau tidak sesuai dengan keinginan banyak orang. Jika demikian halnya, hampir bisa dipastikan maka mereka akan setengah hati menjalankannya, sehingga hasilnya pun tidak akan maksimal.
Meski pengambilan keputusan adalah kewenangan pimpinan, ‘nasib’ suatu keputusan tersebut apakah dapat dijalankan dengan baik atau tidak, bisa mencapai tujuan ataukah gagal, bergantung dari orang-orang yang akan terlibat langsung dalam usaha itu, yaitu seluruh anggota, karyawan atau pekerja
Seperti ketika Walikota Solo -Jokowi- yang terlebih dahulu berdialog dengan pedagang-pedagang pasar sebelum mereka dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain. Sebelum mengatakan bahwa mereka harus pindah, Jokowi telah berdialog dengan mereka sebanyak 53 kali. Dalam dialog tersebut sambil mempererat silaturahmi, ia memahamkan dan meyakinkan para pedagang. Kemudian pada pertemuan ke 54 barulah dinyatakan keinginannya, tepatnya tawaran kepada para pedagang kakilima tersebut untuk pindah ke lokasi baru.
Belajar dari Peristiwa Pemindahan Hajar Aswad
Pemindahan Hajar Aswad (batu hitam) yang merupakan bagian dari bangunan Ka’bah atau Baitullah nyaris memicu perpecahan Kaum Quraisy di zaman jahiliyah. Sebagai bagian penting dan simbol utama bangunan utama tersebut, semua golongan merasa paling berhak atasnya, tidak rela jika kelompok lain yang mendapat kehormatan mengangkat dan menempatkannya pada posisi semula seusai pemugaran Ka’bah.
Ketegangan makin memuncak sebab tidak ada yang mau mengalah. Bahkan untuk mempertahankan kehormatan kelompok masing-masing, jalan kekerasan pun bisa ditempuh untuk itu. Karena tidak kunjung didapatkan jalan keluar, akhirnya semua sepakat untuk mengangkat penengah dari orang yang pertama kali datang ke Baitullah, dan ternyata Muhammad adalah orangnya.
Muhammad mengemukakan usul agar dibentangkan kain dan para pemimpin kabilah memegang tiap tepinya, kemudian Muhammad yang mengangkat Hajar Aswad ke atas sorban panjang, dan mereka menggotongnya. Pelibatan itu tidak hanya menenteramkan, tapi juga mengangkat harga diri semua kelompok. Dan Muhammad pun makin dipercaya dalam menyelesaikan berbagai persoalan maupun mengemban amanah kemasyarakatan.
Satu contoh ini menunjukkan bahwa penting meletakkan dasar kesatuan kelompok dengan mengangkat harga diri dan membuat masing-masing kelompok tersebut berperan dalam mewujudkan cita-cita bersama. Tidak ada yang merasa dikorbankan sebagai objek pelengkap bagi kelompok lain dalam satu kesatuan masyarakat.
Ya Allah himpunkanlah hati kami dan perbaikilah keadaan kami, berilah kami petunjuk jalan keselamatan dan selamatkanlah kami dari kegelapan kepada cahaya. Jauhkanlah kami dari segala keburukan yang tampak maupun yang tersembunyi. Berkahilah kami dalam pendengaran kami, penghilatan kami, hati kami dan pasanga-pasangan kami serta keturunan kami. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat Maha Penyayang.
Sumber : hminews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar