Rabu, 01 April 2015

Pendidikan Instan

     Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan, dari hari ke hari semakin kuat. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, seorang serjana yang sangat cepat memperoleh gelar sarjana S1 atau S2 tanpa melalui proses semester berjalan. Mereka hanya membayar semua ketertinggalan semester lalu didaftarkan masuk menjadi peserta ikut wisuda dan langsung saja mendapatkan ijazah. Pelajar/mahasiswa hari ini ingin ‘sekali seduh langsung jadi’ siap disantap, layaknya makanan instan. Padahal kenyataannya, ilmu pengetahuan tidak seperti makanan instan yang cukup diseduh langsung dinikmati.
Seorang sarjana instan akan memunculkan kecemburuan sosial dan memunculkan ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah tersebut. Sarjana yang sudah berproses mati-matian selama pendidikan berlangsung, mengikuti semester berjalan, melaksanakan kewajiban di kampus seperti membayar SPP, mengerjakan tugas-tugas. Sementara ada orang yang tiba-tiba mendapat gelar serjana namun selama pergaulan sosialnya tidak pernah terdengar kabar bahwa dia pernah kuliah. Tentu masyarakat mempertanyakan dari mana gelar itu didapatkan.
Hasil kerja keras akan menghasilkan kepuasan tersendiri. Mengutip dari pernyataan Gus Dur, ”Saya tidak menilai berapa indeks prestasi seorang sarjana yang didapatkan dari kampus tapi saya menilai sebesar apa proses perjuangan dalam memperoleh nilai tersebut.” Selain dari pada itu Mahatma Gandi mengatakan bahwa “kepuasan terletak pada usaha, bukan pada hasil , berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki.”
Proses Instan
Terkadang kita hanya menunggu sesuatu yang untuk suatu kejutan yang datang dari langit. Belajar di institusi pendidikan formal itu, sebetulnya merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama, agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak ‘kuper,’ punya prinsip hidup yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan. Pada hakikatnya bahwa proses pendidikan mengajarkan diri menjadi seseorang yang rasional, objektif, dan sistematis agar memiliki kerangka pikir yang fundamental dan dapat dijadikan sebagai referensi dalam setiap problematika sosial yang terjadi di sekeliling.
Maka dari itu didalam kampus bukan hanya diajarkan tentang displin ilmu sesuai jurusan masing-masing namun, juga diajarkan dengan moral, etika pergaulan dan nilai-nilai karakter dalam bermasyarakat. Bagaimanapun, pengetahuan yang sempit sama berbahayanya dengan pengetahuan tanpa karakter. Pengetahuan intelektual yang tinggi tanpa diimbangi nilai-nilai karakter diibaratkan seorang pemuda memegang sebilah pedang sementara dalam keadaan mabuk. Maka seorang sarjana yang hanya langsung menerima ijazah tentu akan kewalahan dalam menghadapi tantangan sosial apalagi mempertanggung jawabkan nilai akademiknya. Aktualisasi terhadap nilai-nilai akademik tercermin dari seorang sarjana yang betul-betul melewati sistem pendidikan yang baik, bukan sarjana kampungan, seperti Tarzan masuk kota, tetapi dia dapat menjadi agen of change di tengah arus problematika yang ada.
Maraknya Plagiat
Keengganan untuk melakukan sesuai jalannya sistem akademik, tidak jarang di antara para calon sarjana meng-copi-paste skripsi (plagiat) yang suda jadi, atau bahkan menggunakan biro jasa pembuatan skripsi, atau tesis. Karena bagi mereka yang diutamakan memang bukan pengetahuan melainkan status, ijazah, atau gelar. Agar bisa diakui eksistensinya di masyarakat kalau dia itu punya title akademik.
Menjamurnya institusi yang menawarkan gelar hanya dengan harga Rp 5 sampai 8 juta, ini tidak terlepas dari berfikir instan, padahal yang demikian itu merupakan suatu pelanggaran sistem dan pengkhianatan terhadap prinsip akademik. Membuat tesis sering dipandang calon serjana sebagai suatu yang amat berat, sehingga timbul rasa enggan untuk melaksanakan bahkan memulainya. Maka jalan pintas adalah “plagiat.” Memang, menyusun suatu karangan ilmiyah bukanlah pekerjaan yang mudah. Apa saja yang dikemukakan dalam skripsi, tesis, harus dapat dipertanggugjawabkan berdasarkan data empiris. Namun keharusan itulah yang sangat berharga bagi seorang yang nantinya menyebut dirinya seorang sarjana.
Bagi sarjana harus dapat berpikir ilmiah objektif dan rasional. Ia harus mampu d membiasakan dirinya bersikap ilmiah. Membuat tesis memaksa calon sarjana untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan dengan demikian merupakan latihan yang sangat bermanfaat bagi persiapan sebagai seorang ilmuwan. Dan sikap seperti itu telah dipupuk dalam perkuliahan, maka skiripsi, tesis merupakan bukti tentang sikap, cara berfikir dan menghasilkan karya ilmiah.
Sebaliknya cara ‘potong kompas’ atau proses yang serba instan yang diterapkan dalam sebuah institusi sekolah dan perguruan tinggi tidak akan pernah menghasilkan generasi bangsa yang kompeten dan kreatif tetapi hanya akan menghasilkan produk-produk pragmatis.
Berikut ini ada beberapa sistem yang sering diterapkan di kampus-kampus di antaranya:pertama proses pembelajaran dalam semester pendek. Sistem semester pendek itu, pasti tergesa-gesa karena waktu yang singkat harus menghabiskan bahan banyak. Akibatnya dosen pun memberikan secara serampangan sedangkan mahasiswa pun menerimanya juga sepintas lalu tanpa pengendapan.
Kedua Program semester panjang. Karena waktu pertemuannya selalu mengalami jeda, memungkinkan mahasiswa yang rajin untuk membaca ulang memahami materi yang diajarkan mengunyah, merenungkan, dan merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari tetapi dalam semester pendek apa yang diterima mahasiswa dari dosen tidak sempat diserap, dikunyah, direnungkan, apalagi direfleksikan, tetapi langsung ditelan begitu saja ujian. Persis seperti orang menelan obat: agar tidak pahit, obat itu ditelan dengan air minum atau buah-buahan untuk memanipulasi rasa pahitnya.
Menelan itu berbeda dengan mengunyah yang memiliki ritme dan unsur rasa, memerlukan proses kesabaran dan waktu sampai 32 kali (pesan dokter) sedangkan ketika menelan akan terasa nguntal. Sekali barang dilempar ke mulut, langsung ditelan.
Penulis masih teringat waktu kecil dulu saat belajar mengaji, sebelum memulai pelajaran mengaji diharuskan agar setiap santri terlebih dahulu mengangkat air dari sumur ke rumah guru ngaji tersebut, satu orang santri satu jergen berukuran 5 liter air, kalau yang kelas 5-6 SD diharuskan membawa 2 buah jerigen dengan ukuran yang sama diangkat dengan terseok-seok. Jarak dari sumur dengan rumah guru ngaji sekitar 100 M. Setelah semua santri mengangkat air selanjutnya mengambil sapu lidi untuk menyapu, ada yang menyapu di bawah kolong rumah, ada juga yang menyapu lantai atas sampai bersih. Tidak berhenti sampai di situ, selanjutnya kami diarahkan ke dapur untuk mencuci piring. Setelah semuanya beres barulah mulai membuka Al Qur’an untuk dibaca. Dan dibaca berkali-kali sekitar 5-8 kali yang disebut Mandarras (istilah Mandar) barulah datang guru ngaji didepan kita untuk mengajar sambil membawa sebuah rotan kecil yang berukuran panjang kira-kira 60 CM. Satu kali melakukan kesalahan rotan tersebut meluncur kearah bagian paha atau tangan. Begitulah proses panjang terus menerus berjalan sampai masa Khatam bacaan Al-Qur’an
CPNS Berijasah palsu
Maraknya CPNS yang berijazah palsu belakangan ini, marupakan suatu fanomena pendidikan yang memilukan dan memalukan. Kita tidak bisa bayangkan suatu perguruan tinggi ternama di Indonesia Timur bisa-bisanya mengeluarkan ijazah palsu. Seperti yang terjadi pekan lalu UNM berhasil mengidentifikasi setidaknya 11 CPNS yang berijasah palsu. Institusi yang dulunya dikenal sebagai penghasil guru terbaik ini komplain lembaga mereka digunakan sebagai alat untuk mendupliksi ijazah lalu, dimanfaatkan untuk mendaftar CPNS.
Anehnya bahwa yang menggunakan ijazah palsu ini di BKD masing-masing telah dinyatakan lulus. (Fajar 28 Des 2014). Kalau yang orang berijazah palsu menjadi abdi negara dalam suatu instansi, maka dikhawatirkan akan menjadi orang tidak bertanggung jawab dan cenderung korup karena ijazah yang digunakan dalam mendaftar PNS berasal dari proses yang tidak benar. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang berasal dari yang tidak benar pasti akan berakhir degan tidak benar pula.

'

Kita berharap pemerintah betul-betul dapat menyeleksi CPNS dengan penuh hati-hati, agar proses ijasah palsu tidak lagi terulang dalam proses penelimaan CNPS berikutnya. Aparat hukum sekiranya dapat menindak tegas sesuai perundang-undangan yang berlaku.   bagi siapa yang kedapatan menggunakan ijasah palsu

Herman Haerudin
Sumber : hminews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar